Latar Belakang
Analisis Transaksional (AT) adalah salah satu pendekatan
Psychotherapy yang menekankan pada hubungan interaksional. AT dapat
dipergunakan untuk terapi individual, tetapi terutama untuk pendekatan
kelompok. Pendekatan ini menekankan pada aspek perjanjian dan keputusan.
Melalui perjanjian ini tujuan dan arah proses terapi dikembangkan sendiri oleh
klien, juga dalam proses terapi ini menekankan pentingnya keputusan-keputusan
yang diambil oleh klien. Maka proses terapi mengutamakan kemampuan klien untuk
membuat keputusan sendiri, dan keputusan baru, guna kemajuan hidupnya sendiri.
AT dikembangkan oleh Eric Berne tahun 1960 yang ditulisnya dalam
buku Games People Play. Berne adalah seorang ahli ilmu jiwa terkenal dari
kelompok Humanisme. Pendekatan analisis transaksional ini berlandaskan teori
kepribadian yang berkenaan dengan analisis struktural dan transaksional. Teori
ini menyajikan suatu kerangka bagi analisis terhadap tiga kedudukan ego yang
terpisah, yaitu : orang tua, orang dewasa, dan anak. Pada dasarnya teori analisis
transaksional berasumsi bahwa orang-orang bisa belajar mempercayai dirinya
sendiri, berpikir, dan memutusakan untuk dirinya sendiri, dan mengungkapkan
perasaan- perasaannya.
Dalam mengembangkan pendekatan ini Eric Berne menggunakan
berbagai bentuk permainan antara orang tua, orang dewasa dan anak.
Dalam eksprerimen yang dilakukan Berne mencoba meneliti dan
menjelaskan bagaimana status ego anak, orang dewasa dan orang tua, dalam
interaksi satu sama lain, serta bagaimana gejala hubungan interpersonal ini
muncul dalam berbagai bidang kehidupan seperti misalnya dalam keluarga, dalam
pekerjaan, dalam sekolah, dan sebagainya.
Dari eksperimen ini Berne mengamati bahwa kehidupan sehari-hari
banyak ditentukan oleh bagaimana ketiga status ego (anak, dewasa, dan orang
tua) saling berinteraksi dan hubungan traksaksional antara ketiga status ego
itu dapat mendorong pertumbuhan diri seseorang, tetapi juga dapat merupakan
sumber-sumber gangguan psikologis. Percobaan Eric Berne ini dilakukan hamper 15
tahun dan akhirnya dia merumuskan hasil percobaannya itu dalam suatu teori yang
disebut Analisis Transaksional dalam Psikoterapi yang diterbitkan pada tahun
1961. Selanjutnya tahun 1964 dia menulis pula tentang Games Pupil Play, dan
tahun 1966 menerbitkan Principles of Group Treatment. Pengikut Eric Berne
adalah Thomas Harris, Mc Neel J. dan R. Grinkers.
KONSEP-KONSEP UTAMA
Konsep Dasar Pandangan tentang sikap manusia
Analisis Transaksional berakar dalam suatu filsafat anti
deterministik yang memandang bahwa kehidupan manusia bukanlah suatu yang sudah
ditentukan. Analisis Transaksional didasarkan pada asumsi atau anggapan bahwa
orang mampu memahami keputusan-keputusan pada masa lalu dan kemudian dapat
memilih untuk memutuskan kembali atau menyesuaikan kembali keputusan yang telah
pernah diambil. Berne dalam pandangannya meyakini bahwa manusia mempunyai
kapasitas untuk memilih dan, dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya.
Kata transaksi selalu mengacu pada proses pertukaran dalam suatu
hubungan. Dalam komunikasi antarpribadi pun dikenal transaksi, yang
dipertukarkan adalah pesan pesan baik verbal maupun nonverbal. Analisis
transaksional sebenarnya bertujuan untuk mengkaji secara mendalam proses
transaksi (siapa-siapa yang terlibat di dalamnya dan pesan apa yang
dipertukarkan).
Perwakilan Ego
Dalam diri setiap manusia, seperti dikutip Collins (1983),
memiliki tiga status ego. Sikap dasar ego yang mengacu pada sikap orang tua
(Parent= P. exteropsychic); sikap orang dewasa (Adult=A. neopsychic); dan ego
anak (Child = C, arheopsychic). Ketiga sikap tersebut dimiliki setiap orang
(baik dewasa, anak-anak, maupun orangtua). AT menggunakan suatu sistem terapi
yang berlamdaskan pada teori kepribadian yang menggunakan pola perwakilan ego
yang erpisah; orang tua, orang dewasa, dan anak. Menurut corey (1988), bahwa
ego orang tua adalah bagian kepribadian yang merupakan introyeksi dari orang
tua atau subtitusi orang tua. Jika ego orang tua itu dialami kembali oleh kita,
maka apa yang dibayangkan adalah perasaan-perasaan orang tua kita dalam suatu
situasi, atau kita merasa dan bertindak terhadap orang lain dengan cara yang
sama dengan perasaaan dan tindakan orang tua kita terhadap diri kita. Ego orang
tua berisi perintah-perintah “harus” dan “semestinya”. Orang tua dalam diri
kita bisa “orang tua pelindung” atau orang tua pengkritik”.
Ego orang dewasa adalah pengolah data dan informasi.,
adalah bagian objektif dari kepribadian, juga menjadi bagian dari kepribadian
yang mengetahui apa yang sedang terjadi. Dia tidak emosional dan meghakimi,
tetapi menangani fakta-fakta dan kenyataan ekternal. Berdasarkan informasi yang
tersedia, ego orang dewasa menghasilkan pemecahan yang paling baik untuk
masalah-masalah tertentu.
Selanjutnya, ego anak berisi perasaan-perasaan, dorongan dan
tindakan yang bersifat spontan, “anak” yang berada dalam diri kita bisa berupa
“anak alamiah,” adalah anak yang impulsif, tak terlatih, spontan, dan
ekspresif. Dia adalah bagian dari ego anak yang intuitif. Ada juga berupa “anak
disesuiakan,” yaitu merupakan modifikasi-modifikasi yang dihasilkan oleh
pengalaman traumatik, tuntutan-tuntutan, latihan, dan ketepatan-ketepatan
tentang bagaimana caranya memperoleh perhatian.
Skenario Kehidupan dan Posisi Psikologi Dasar
Skenario kehidupan adalah ajaran orang tua yang kita pelajari
dan keputusan awal yang dibuat oleh kita sebagai anak, selanjutnya dipahami
oleh kita sebagai orang dewasa. Kita menerima pesan-pesan dengan demikian kita
belajar dan menetapkan tentang bagaimana kita pada usia dini. Pesan verbal dan
non verbal orang tua, mengkomunikasikan bagaimana mereka melihat dan bagimana
merasakan diri kita. Kita membuat keputusan yang memberikan andil pada pembentukan
perasaaan sebagai pemenang (perasaan “OK”) atau perasaan sebagai orang yang
kalah (perasaan “tidak OK”).
Hubungannya dengan konsep skenario, pesan-pesan dan perintah
orang tua dan keputusan kita. Dalam hal ini, konsep AT memiliki empat posisi
dasar yaitu;
Pertama, Saya OK—Kamu OK
Kedua, Saya OK—Kamu Tidak OK
Ketiga, Saya Tidak OK—Kamu OK
Keempat, Saya Tidak OK—Kamu Tidak OK.
Masing-masing dari posisi itu berlandaskan pada keputusan yang
dibuat seseorang sebagai hasil dari pengalaman masa kecil. Bila, keputusan yang
telah diambil, maka umumnya dia akan bertahan pada keputusannya itu, kecuali
bila ada intevensi (konselor atau kejadian tertentu) yang mengubahnya. Posisi
yang sehat adalah posisi dengan perasaan sebagai pemenang atau posisi Saya OK—Kamu
OK. Dalam posisi tersebut dua orang merasa seperti pemenang dan bisa menjalin
hubungan langsung yang terbuka. Saya OK—kamu tidak OK, adalah posisi orang yang
memproyeksikan masalah-masalanya kepada orang lain dan biasanya melimpahkan
kesalahan pada orang lain, ciri pada posisi ini menunjukan sikap arogan,
menjauhkan seseorang dari orang lain dan mempertahankan seseorang dari
teralinasi. Saya Tidak OK—Kamu OK , adalah posisi orang yang mangalami depresi,
merasa tidak kuasa dibanding dengan orang lain dan cenderung menarik diri atau
lebih suka memenuhi keinginan orang lain daripada keinginan diri sendir. Saya
Tidak OK—Kamu Tidak OK, adalah posisi orang yang memupus semua harapan,
bersikap pesimis, dan memandang hidup sebagai sesutau yang hampa.
Kebutuhan manusia akan belaian
Pada dasarnya setiap manusia memerlukan belaian dari orang lain,
baik itu yang berlainan dalam bentuk fisik maupun emosional. AT memungut
pandangan tentang motivasi manusia bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar berkaitan
langsung dengan tingkah laku sehari-hari yang dapat diamati. Sejumlah kebutuhan
dasar mencakup haus akan belainan, haus akan struktur, haus akan kesenangan dan
haus akan pengakuan. Teori AT menekankan bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk
mengadakan hubungan yang bisa dicapai dalam bentuknya yang terbaik melalui
keakraban. Hubungan yg akrab berlandaskan penerimaan posisi saya OK kamu OK di
kedua belah pihak. Hubungan yg akrab lazimnya bertumpu pada penerimaan cinta di
mana sikap defensive menjadi tidak perlu. Memberi dan menerima adalah ungkapan
kenikmatan yang spontan alih-alih respon-respons terhadap upacara-upacara yang
diprogram secara social. Keakraban adalah hbungan yang bebasa dari permainann
karena tujuan-tujuannya tidak tersembunyi (Harris, 1967 hlm 151-152).
Jadi salah satu cara teori AT menjabarkan tigkah laku manusia
adalah dalam kerangka penyusunan waktu yang melibatkan berbagai cara meperoleh
belaian dari orang lain. Cara-cara itu berada pada suatu kontinum dari
pengakuan-pengakuan yg diperoleh seseorang dari orang lain melalui
upacara-upacara dan permainan-permainan, terhadap belaian-belaian yang
diperoleh melalui suatu hubungan pribadi yg bermakna dan akrab.
Permainan-permainan yang kita mainkan
Para pendukung AT mendorong orang-orang untuk mengenali dan
memahami perwakilan-perwakilan egonya. Alasannya adalah dengan mengakui ketiga
perwakilan ego itu, orang-orang bisa membebaskan diri dari putusan- putusan
anak yang telah usang dari pesan-pesan orang tua yg irrasional yang menyulitkan
kehidupan mereka. AT mengajari orang bagian mana yang sebaiknya digunakan untuk
membuat putusan-putusan yang penting bagi kehidupannya. Disamping itu, para
tokoh AT mengungkapkan bahwa orang-orang bisa memahami dialog internalnya
antara orang tua dan anak. Mereka juga bisa mendengar dan memahami hubungan
mereka dengan orang lain. Mereka bisa sadar akan kapan mereka terus terang dan
kapan mereka berbohong kepada orang lain. Dengan menggunakan prinsip-prinsip
AT, orang-orang bisa sadar akan jenis belaian yang diperolehnya., dan mereka
bisa mengubah respons-respons belaian dari negatif ke positif.
AT memandang permainan-permainan sebagai penukaran
belaian-belaian yg mengakibatkan berlarutnya-larutnya perasaan-perasaan tidak
enak. Permainan-permainan boleh jadi memperlihatkan keakraban. Akan tetapi,
orang-orang yang terlibat dalam transaksi-transaksi memainkan permainan
menciptakan jarak di antara mereka sendiri dengan mengimpersonalkan
pasangannya. Transaksi itu setidaknya melibatkan dua orang yang memainkan
permainan. Transaksi permainan akan batal jika salah seorang menjadi sadar
bahwa dirinya berada dalam permainan dan kemudian memutusakan untuk tidak lagi
memainkannya.
Segitiga drama Karpman bisa digunakan untuk membantu orang-orang
untuk memahami permainan-permainan. Pada segitiga terdapat seorang penuntut,
seorang penyelamat, dan seorang korban.
Tujuan Terapi
Tujuan utama dari AT adalah membantu klien dalam membuat
keputusan-keputusan baru yang berhubungan tingkah lakunya saat ini dan arah
hidupnya. Sedangkan sasarnya adalah mendorong klien agar menyadari, bahwa
kebebasan dirinya dalam memilih telah dibatasi oleh ketusan awal mengenai
posisi hidupnya serta pilihan terhadap cara-cara hidup yang stagnan dan
deterministik. Menurut Berne (1964) dalam Corey (1988) bahwa tujuan dari AT
adalah pencapaian otonom yang diwujudkan oleh penemuan kembali tiga
karakteristik; kesadaran, spontanitas, dan keakraban.
Penekanan terapi adalah menggantikan gaya hidup yang ditandai
oleh permainan yang manipulatif dan oleh skenario-skenario hidup yang
menyalahkan diri dan gaya hidup otonom ditandai dengan kesadaran spontanitas
dan keakraban. Menurut Haris (19967) yang dikutip dalam Corey (1988) tujuan
pemberian treatment adalah menyembuhkan gejala yang timbul dan metode treatment
adalah membebaskan ego Orang Dewasa sehingga bisa mengalami kebebasan memilih
dan penciptaan pilihan-pilihan baru atas pengaruh masa lampau yang membatasi.
Tujuan terapeutik, dicapai dengan mengajarkan kepada klien dasar-dasar ego
Orang Tua, ego Orang Dewasa, dan ego Anak. Para klien dalam setting kelompok
itu belajar bagaimana menyadari dan menjabarkan ketiga ego selama ego-ego
tersebut muncul dalam transaksi-transaksi kelompok.
Fungsi dan Peran Terapis
Harris (1967) yang dikutip dalam Corey (1988) memberikan
gambaran peran terapis, seperti seorang guru, pelatih atau nara sumber dengan
penekanan kuat pada keterlibatan. Sebagai guru, terapis menerangkan
konsep-konsep seperti analisis struktural, analisis transaksional, analisis
skenario, dan analisis permainan. Selanjutnya menurut Corey (1988), peran
terapis yaitu membantu klien untuk membantu klien menemukan suasana masa lampau
yang merugikan dan menyebabkan klien membuat keputusan-keputusan awal tertentu,
mengindentifikasikan rencana hidup dan mengembangkan strategi-strategi yang
telah digunakannya dalam menghadapi orang lain yang sekarang mungkin akan
dipertimbangkannya. Terapis membantu klien memperoleh kesadaran yang lebih
realistis dan mencari alternatif-alternatif untu menjalani kehidupan yang lebih
otonom.
Terapis memerlukan hubungan yang setaraf dengan klien, menunjuk
kepada kontrak terapi, sebagai bukti bahwa terapis dan klien sebagai pasangan
dalam proses terapi. Tugas terapi adalah, menggunakan pengetahuannya untuk
mendukung klien dalam hubungannya dengan suatu kontrak spesifik yang jelas
diprakarsai oleh klien. Konselor memotivasi dan mengajari klien agar lebih
mempercayai ego Orang Dewasanya sendiri ketimbang ego Orang Dewasa konselor
dalam memeriksa keputusan–keputusan lamanya serta untuk membuat keputusan-keputusan
baru.
Hubungan Konselor Dengan Klien
Pelaksanaan terapi AT beradasarkan kontrak, kontrak tersebut
menjelaskan keinginan klien untuk berubah, di dalam kontrak berisi
kesepakatan-kesepakatan yang spesifik, jelas, dan ringkas. Kontrak menyatakan
apa yang dilakukan oleh klien, bagaimana klien melangkah ke arah tujuan-tujuan
yang telah ditetapkannya dan kapan kontrak tersebut akan berakhir. Kontrak
dapat diperpanjang, konselor akan mendukung dan bekerja sesuai kontrak yang
telah menjadi kesepakatan bersama. Pentingnya keberadaan kontrak, karena umumnya
dalam terapi, klien seringkali keluar dari kesepakatan awal. Menyimpang,
cenderung memunculkan masalah-masalah baru, bersikap pasif, dan dependen
akibatnya proses penyembuhan membutuhkan tambahan waktu. Dengan adanya kontrak
maka kewajiban tanggungjawab bagi klien semakin jelas, membuat usaha klien
untuk tidak keluar pada kesepakatan dan komitmen untuk penyembuhan tetap
menjadi perhatian, maka klien menjadi fokus pada tujuan-tujuan sehingga proses
penyembuhan akan semakin cepat.
Maksud dari kontrak lebih spesifik, yaitu menyepakati cara-cara
yang sesungguhnya digunakan dalam terapi yang disesuikan dengan kebutuhan klien
dengan memperhatikan apakah untuk individu atau kelompok.
Contoh dalam kontrak, misalnya klien membutuhkan hubungan yang
harmonis dan bermakna dengan orang lain, kemudian dia berkata, “Saya merasa
kesepian dan saya ingin lebih memiliki hubungan yang harmonis dengan para
kerabat”. Maka, kontrak yang dibuat harus mencakup latihan yang spesifik dengan
mengerjakan tugas oleh kliean agar dia memiliki kepercayaan diri untuk
berhubungan secara harmonis dan bermakna. Bagaimana dengan klien yang bingung
menentukan apa yang menjadi keinginannya? Selanjutnya untuk membuat kontrak pun
akan sulit, Corey (1988) memberikan solusi, bagi mereka yang seperti itu
disarankan untuk memulai dan menetapkan kontrak jangka pendek atau kontrak yang
lebih mudah dengan berkonsultasi tidak terlalu lama diyakini kontrak akan bisa
ditetapkan. Perlu dipahami bahwa kontrak buka tujuan, melainkan sebagai alat
untuk membantu klien untuk dapat menerima tanggunjawab agar lebih aktif dan
otonom.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh konselor ketika
membangun hubungan dengan klien; Pertama, tidak ada kesenjangan pemahaman
antara klien dan konselor yang tidak dapat jembatani. Kedua, klien memiliki
hak-hak yang sama dan penuh dalam terapi, artinya klien memiliki hak untuk
menyimpan atau tidak mengungkapkan sesuatu yang dianggap rahasia. Ketiga,
kontrak memperkecil perbedaan status dan menekankan persamaan di antara konselor
dan klien.
Teknik dan Prosedur Terapi
Untuk melakukan terapi dengan pendekatan AT menurut Haris dalam
Corey (1988) treatment individu-individu dalam kelompok adalah memilih
analisis-analisis transaksional, menurutnya fase permualaan AT sebagai suatu proses
mengajar dan belajar serta meletakan pada peran didaktik terapis kelompok.
Konsep-konsep AT beserta tekniknya sangat relevan diterapkan pada situasi
kelompok, meskipun demikian penerapan pada individu juga dianggap boleh
dilakukan. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh, bila digunakan dengan
pendekatan kelompok. Pertama, berbagai ego Orang Tua mewujudkan dirinya dalam
transaksi-transaksi bisa diamati. Kedua, karakteristik-karakteristik ego anak
pada masing-masing individu di kelompok bisa dialami. Ketiga, individu dapat
mengalami dalam suatu lingkungan yang bersifat alamiah, yang ditandai oleh
keterlibatan orang lain. Keempat, konfrontasi permainan yang timbal-balik dapat
muncul secara wajar. Kelima, para klien bergerak dan membaik lebih cepat dalam
treatment kelompok.
Prosedur pada AT dikombinasikan dengan terapi Gestalt, seperti
yang dikemukakan oleh James dan Jongeward (1971) dalam Corey (1988) dia
menggabungkan konsep dan prosedur AT dengan eksperimen Gestalt, dengan
kombinasi tersebut hasil yang diperoleh dapat lebih efektif untuk mencapai
kesadaran diri dan otonom. Sedangkan teknik-teknik yang dapat dipilih dan
diterapkan dalam AT, yaitu;
1.
Analisis struktural, para klien akan belajar bagaimana mengenali
ketiga perwakilan ego-nya, ini dapat membantu klien untuk mengubah pola-pola
yang dirasakan dapat menghambat dan membantu klien untuk menemukan perwakilan
ego yang dianggap sebagai landasan tingkah lakunya, sehingga dapat melihat
pilihan-pilihan.
2.
Metode-metode didaktik, AT menekankan pada domain kognitif,
prosedur belajar-mengajar menjadi prosedur dasar dalam terapi ini.
3.
Analisis transaksional, adalah penjabaran dari yang dilakukan
orang-orang terhadap satu sama lain, sesuatu yang terjadi diantara orang-orang
melibatkan suatu transaksi diantara perwakilan ego mereka, dimana saat pesan
disampaikan diharapkan ada respon. Ada tiga tipe transaksi yaitu; komplementer,
menyilang, dan terselubung.
·
Permainan peran, prosedur-prosedur AT dikombinasikan dengan
teknik psikodrama dan permainan peran. Dalam terapi kelompok, situasi permainan
peran dapat melibatkan para anggota lain. Seseorang anggota kelompok memainkan
peran sebagai perwakilan ego yang menjadi sumber masalah bagi anggota lainnya,
kemudian dia berbicara pada anggota tersebut. Bentuk permainan yang lain adalah
permainan menonjolkan gaya-gaya yang khas dari ego Orang Tua yang konstan.
·
Analisis upacara, hiburan, dan permainan, AT meliputi pengenalan
terhadap upacara (ritual), hiburan, dan permainan yang digunakan dalam menyusun
waktunya. Penyusunan waktu adalah bahan penting bagi diskusi dan pemeriksaan
karena merefleksikan keputusan tentang bagaimana menjalankan transaksi dengan
orang laindan memperoleh perhatian.
·
Analisa skenario, kekurangan otonomi berhubungan dengan
keterikatan individu pada skenario atau rencana hidup yang ditetapkan pada usia
dini sebagai alat untuk memenuhi kebutuhannya di dunia sebagaimana terlihat
dari titik yang menguntungkan menurut posisi hidupnya. Skenario kehidupan, yang
didasarkan pada serangkaian keputusan dan adaptasi sangat mirip dengan
pementasan sandiwara.
Kesimpulan
Dari gambaran tentang AT di atas kami dapat memberikan
kesimpulan bahwa:
Pertama, AT menggunakan pendekatan Psychotherapy, dengan
menekankan pada hubungan interaksional. Analisis Transaksional dapat
dipergunakan untuk terapi individual, tetapi terutama untuk pendekatan
kelompok. Pendekatan ini menekankan pada aspek perjanjian dan keputusan.
Melalui perjanjian ini tujuan dan arah proses terapi dikembangkan sendiri oleh
klien, proses terapi mengutamakan kemampuan klien untuk membuat keputusan
sendiri, dan keputusan baru, guna kemajuan hidupnya sendiri.
Kedua, AT menggunakan suatu sistem terapi yang berlamdaskan pada
teori kepribadian yang menggunakan pola perwakilan ego yang erpisah Sikap dasar
ego yang mengacu pada sikap orang tua (Parent= P. exteropsychic); sikap orang
dewasa (Adult=A. neopsychic); dan ego anak (Child = C, arheopsychic).
Ketiga sikap tersebut dimiliki setiap orang (baik dewasa,
anak-anak, maupun orangtua), dengan skenario kehidupan pesan-pesan verbal dan
non verbal orang tua, mengkomunikasikan bagaimana mereka melihat dan bagimana
merasakan diri kita. Kita membuat keputusan yang memberikan andil pada
pembentukan perasaaan sebagai pemenang (perasaan “OK”) atau perasaan sebagai
orang yang kalah (perasaan “tidak OK”). Dalam hal ini, konsep AT memiliki empat
posisi dasar yaitu;
Pertama, Saya OK—Kamu OK, Kedua, Saya OK—Kamu Tidak OK, Ketiga,
Saya Tidak OK—Kamu OK, dan Keempat, Saya Tidak OK—Kamu Tidak OK.
Ketiga, yang penting untuk diketahui baik, konselor maupun klien
ketika memulai proses terapi untuk mencapai tujuan adalah; Pertama, tidak ada
kesenjangan pemahaman antara klien dan konselor yang tidak dapat jembatani.
Kedua, klien memiliki hak-hak yang sama dan penuh dalam terapi, artinya klien
memiliki hak untuk menyimpan atau tidak mengungkapkan sesuatu yang dianggap
rahasia. Ketiga, kontrak memperkecil perbedaan status dan menekankan persamaan
di antara konselor dan klien.
SUMBER:
Prawitasari, J.E. 1987.
Analisis Transaksional. Yogyakarta
Corey.G.1988. Teori dan Praktek Konseling dan
Psikoterapi. Bandung: PT Eresco
Fauzan lutfi.2001. Pendekatan-pendekatan konseling
individual. Malang:Elang Mas